OBJEKTIFITAS DAN SUBJEKTIFITAS
DALAM SEJARAH
1.
Pengertian
objektifitas dan subjektifitas dalam sejarah
Subjektifitas
adalah kesaksian atau tafsiran yang merupakan gambaran hasil perasaan atau manusia. Dalam
sejarah unsur ini banyak terdapat dalam proses interpretasi.
Sejarah, dalam mengungkapkan faktanya membutuhkan interpretasi dan interpretasi melibatkan pribadi/subyek. Selain yang diinterpretasikan adalah peristiwa masa lalu yang sudah ditinggalkan. Sekalipun masih ada itu hanya ada dalam pikiran sejarawan/subyek tersebut. Sejarawan tersebut yang hidup di masa kini, tentu saja dalam melakukan interpretasi dipengaruhi oleh keadaan zamannya. Selain itu terdapat faktor lain yaitu menurut pendapat G.G.J Resink yang turut mempengaruhi subyektivitas yaitu lingkungan kultural Indonesia yang majemuk dan terbuka untuk banyak tafsiran, sinkretisme religius dan kultural, kecenderungan untuk mencari ketenangan dengan sikap jujur.
Sementara objektifitas adalah usaha mendekatkan diri pada objek atau dengan kata lain bertanggung jawab pada kebenaran objek. Objektivitas sebagai realitas adalah ketidaktersembunyiannya realitas tersebut bagi subjektivistas. Untuk mendapatkan keobjektivannya, seorang sejarawan harus memiliki filsafat yang sehat, memiliki kejujuran intelektual, dan objektivitas akan semakin didapat dengan semakin kayanya bagasi intelektual, perlengkapan kejiawaan subjektivitas sejarawan. Objektivitas ini dapat dihasilkan dengan menggunakan metode subjektivo-objektif, dengan begitu ilmu disadarkan atau kemungkinannya dan akar konteksnya dalam perspektif rasionalitas yang lebih luas.
Menurut sejarawan dan filsuf sejarah yang berhaluan Marxi, penulisan sejarah yang objektif tidak mungkin dan tidak perlu dicita-citakan. Hasrat akan tercapainya suatu masyarakat yang lebih baik dan adil harus merupakan nilai dan pedoman menuntun sejarawan dalam penelitiannya.
Objektifitas dan subjektifitas pada hakikatnya adalah mempersoalkan sejauh mana suatu objek atau fakta sejarah diintervensi oleh subjek atau sejarawan. Dengan demikian kadar objektifitas dan subjektifitas suatu cerita sejarah sangt ditentukan oleh sejarawan itu sendiri. Semakin banyak keyakinan,pendapat atau ide sejarawan terlibat dalam suatu cerita sejarah,maka semakin besar pula kemungkinan tingkat subjektifitas dari suatu cerita itu. Begitu pula sebaliknya.
Sejarah, dalam mengungkapkan faktanya membutuhkan interpretasi dan interpretasi melibatkan pribadi/subyek. Selain yang diinterpretasikan adalah peristiwa masa lalu yang sudah ditinggalkan. Sekalipun masih ada itu hanya ada dalam pikiran sejarawan/subyek tersebut. Sejarawan tersebut yang hidup di masa kini, tentu saja dalam melakukan interpretasi dipengaruhi oleh keadaan zamannya. Selain itu terdapat faktor lain yaitu menurut pendapat G.G.J Resink yang turut mempengaruhi subyektivitas yaitu lingkungan kultural Indonesia yang majemuk dan terbuka untuk banyak tafsiran, sinkretisme religius dan kultural, kecenderungan untuk mencari ketenangan dengan sikap jujur.
Sementara objektifitas adalah usaha mendekatkan diri pada objek atau dengan kata lain bertanggung jawab pada kebenaran objek. Objektivitas sebagai realitas adalah ketidaktersembunyiannya realitas tersebut bagi subjektivistas. Untuk mendapatkan keobjektivannya, seorang sejarawan harus memiliki filsafat yang sehat, memiliki kejujuran intelektual, dan objektivitas akan semakin didapat dengan semakin kayanya bagasi intelektual, perlengkapan kejiawaan subjektivitas sejarawan. Objektivitas ini dapat dihasilkan dengan menggunakan metode subjektivo-objektif, dengan begitu ilmu disadarkan atau kemungkinannya dan akar konteksnya dalam perspektif rasionalitas yang lebih luas.
Menurut sejarawan dan filsuf sejarah yang berhaluan Marxi, penulisan sejarah yang objektif tidak mungkin dan tidak perlu dicita-citakan. Hasrat akan tercapainya suatu masyarakat yang lebih baik dan adil harus merupakan nilai dan pedoman menuntun sejarawan dalam penelitiannya.
Objektifitas dan subjektifitas pada hakikatnya adalah mempersoalkan sejauh mana suatu objek atau fakta sejarah diintervensi oleh subjek atau sejarawan. Dengan demikian kadar objektifitas dan subjektifitas suatu cerita sejarah sangt ditentukan oleh sejarawan itu sendiri. Semakin banyak keyakinan,pendapat atau ide sejarawan terlibat dalam suatu cerita sejarah,maka semakin besar pula kemungkinan tingkat subjektifitas dari suatu cerita itu. Begitu pula sebaliknya.
Namun,jika kita
bertolak dari pengertian sejarah sebagai konstruk yan g diciptakan oleh
sejarawan,maka dapat dikaakan bahwa semua sejarah yang ada dewasa ini sudah
tentu bersifat subektif. Sebab pengungkapan atau penggambaran suatu peristiw
sejarah menjadi kisah sejarah tentu harus melewati proses pengolahan dalam
pikiran dan angan-angan seorang sejarawan.
2.
Faktor-faktor
yang mendorong muculnya subjektifitas dalam sejarah
Menurut W.H.
Walsh ada empat faktor yang menyebabkan subjektifitas dapat timbul dalam suatu
penulisan sejarah,yaitu:
1.
Sikap
berat sebelah pribadi(personal bias)
2.
Prasangka
kelompok(group prejudice)
3.
Teori-teori
penafsiran sejarah yang berbeda(conflicting theories of historical
interpretation)
4.
Konflik-konflik
filsafat yang mendasar(underlying philosofical conflits)
3.
Alternatif-alternatif
terhadap masalah subjektifitas
Menurut I.G.Widja ada tiga alternatif
terhadap masalah subjektifitas tersebut,yaitu:
1.
Bersifat
ragu terhadap tercapainya objektifitas
2.
Mengapa
pentingnya mencapai objektifitas disamping pengakuan atas subjektifitas
1. Peranan Human Richnes.
Maksudnya disini adalah kekayaan intelektual dari seorang sejarawan yang
harus dimiliki ketika menulis sejarah, karena keberhasilan karya sejarah banyak
sekali bergantung pada seluruh disposisi intelektual sejarawan. Kenyataan yang
banyak berseluk beluk dan bersimpang – siur dalam praktek sangat menuntut
pandangan yang eksplisit reflektif formal dari seorang sejarawan supaya dapat
ditangkap dengan tepat.
2. Titik berdiri-profil
Maksudnya disini adalah bagaimana kita menangkap sesuatu ketika suatu objek
kita pandang dari sudut pandang tertentu. Misalnya punggung soeharto yang
sekarang saya lihat, sesudah saya tadi melihat wajahnya tanpa melihat
punggungya, adalah punggung soeharto yang sama yang tadi saya lihat wajahnya.
Maka, kalau disimpulkan, saya menangkap kesatuan dan keseluruhan objek yang
saya tangkap lewat suatu rangkaian yang tak putus-putusnya dari profil-profil
yang bersesuaian dengan banyak titik berdiri ( standpoints ) yang tak terhingga
jumlahnya.
3. Mengenali anasir sumber distorsi
Ketika kita
menulis sejarah, maka kita akan memasuki kedalaman subjektivitas, yakni kedalaman kemerdekaan ( untuk mengakui atau menolak, apakah saya merdeka
betul tidak diikat oleh sesuatu sehingga bias mengatakan sesuatu sebagaimana
mestinya )
5.
Subyektifitas Masa kini
Sartono Kartodirdjo (1992) mengatakan bahwa present-mindedness
acapkali menjadi panduan untuk menyeleksi permasalahan di masa lampau, namun
kita harus berhati-hati, jangan sampai terlalu menguasai pendangan kita
terhadap masa lampau dan melaksanakan pandangan masa kini sebagaii alat
pengukur tentang masa lampau. Misalnya Negara Majapahit dipandang sebagai
Negara nasional. Walaupaun Croce, mengatakan bahwa “ setiap sejarah yang benar adalah sejarah
masa kini”, namun bukan seperti itulah yang di maksud.
Dengan
demikian ada dua hal yang perlu di perhatikan oleh seorang sejarawan untuk
menghindari anakronisme sejarah
maupun penulisan sejarah yang parsial yaitu: pertama, Memahami jiwa zaman dengan pemahaman
yang komprehensif sehingga tidak menilai sebuah peristiwa hanya sebagai jelek
atau buruk, memandangnya sebagai pahlawan atau penjajah, namun kondisi ocial
yang kompleks sangat menentukan kejernihan sejarahnya. Kedua, Memahami masa lampau dengan tidak
memasukkan nilai masa kini, misalnya perlawanan Arung Palaka
terhadap kerajaan Bone yang
di pimpin Sultan Hasanuddin sebagai pemberontak, padahal saat
itu Indonesia belum ada. Atau seperti dikatakan Bambang Purwanto (2005)
banyak juga bandit yang dianggap sebagai pahlawan karena kebetulan melawan
belanda, padahal tujuannya hanya untuk kepentingan pribadi untuk mendapatkan
harta, dan bukan itu saja sesame orang pribumi juga mereka melakukan
pembanditan, inilah yang dikatakan sebagai kesalahan anakronisme.
Dari
paparan di atas maka dapat di katakan bahwa dalam sejarah sampai kapanpun hasil
rekonstruksinya akan tetap subjektif, dalam artian terlepas dari peristiwa
aktualnya, namun fakta yang di tunjukkan akan berupa cermin dari masa lampau
tersebut, yang sudah barang tentu dengan menggunakan pendekatan dan pemahaman
kesejarahan yang baik. Untuk saat ini Bamabang Purwanto menawarkan adanya
dekonstruksi dalam penulisan sejarah atau ocialt sejarah yang memandang manusia
dalam sejarah adalah manusia yang sama seperti kita saat ini. Bukan karena
pahlawan lalu tidak pernah berbuat salah, atau pemberontakan perorangan pada
jaman kerajaan semasa Belanda dikatakan Perlawanan nasional dan lain
sebagainya. Selain itu untuk menjadikan sejarah sebagai Sebuah ilmu yang
subjektivitas masa lampaunya hanya terbatas pada penamaan karena merekonstruksi
masa lampaunya, yang bukan subjektivitas berdasarkan ketidak akuratan datanya
maka dalam hal ini dalam ilmu sejarah di kenal adanya rapprochement dalam penulisan sejarah dengan ilmu
social lain sehingga sejarah akan memiliki konsep, generalisasi, maupun teori
seperti halnya ilmu social yang lain.
Jelasnya
adalah bahwa dalam praktek, dan juga sebagai kesimpulan, pengertian subyektif
dan obyektif dapat disamakan dengan terpengaruh atau tidaknya sejarawan oleh
nilai-nilai tertentu dari obyek yang di telitinya. Bila seorang sejarawan
membiarkan keyakinan politik, atau etisnya turut berperan sehingga nilai-nilai
politik serta etisnya tidak larut dalam eksplanasi karyanya, maka pelukisan
sejarahnya itu disebut subyektif. Dimana golongan obyektivitas menganut
pandangan realis mengenai sejarah dan menganggap peninggalan masa lampau
sebagai sumber sejarah. Sedangkan golongan subyektif menganut pandangan idealis
mengenai sejarah dan menganggap peninggalan masa lampau sebagai evidensi
sejarah (barang bukti).
Dengan
adanya dua sudut pandang ini, tidak jauh berbeda dengan pandangan sejarawan
yang anti teori dan yang menerima teori antara kubu idealis dan realis, maka
penulisan sejarah pun semakin berkembang dan berveriasi. Jika pada abad ke-19
dan sebelumnya jenis “sejarah politik”
seakan satu-satunya karya sejarah yang abash, maka sejak awal abad ke-20
berbagai tema sejarah sebagai alternatif dalam mengungkapkan masa lampau
manusia seperti sejarah sosial, sejarah petani, sejarah ekonomi, sejarah
mentalitas, dan lain sebagainya. Dengan demikian hal ini sesuai dengan apa yang
di katakana oleh James Harvey Robinson bahwa “Sejarah adalah apa yang kita tahu
mengenai apa yang manusia pernah lakukan/ kerjakan, apa yang manusia pernah
pikirkan” dan apa yang manusia pernah rasakan” pengertian ini
mengindikasikan kompleksitas pada kegiatan manusia dalam sejarahnya, sehingga
pengkajiannya juga membutuhkan kompleksitas pendekatan seprti yang di jelaskan
di atas.
6. Prinsip Prinsip Objektivitas
Dalam ilmu-ilmu
sosial, masalah obyektivitas dari informasi yang dikumpulkan dalam penelitian
merupakan suatu isu yang utama dalam metode ilmiahnya. Sebab, berbeda dengan
dalam sains, informasi yang dikumpulkan itu berasal dari dan mengenai kegiatan-
kegiatan manusia sebagai mahluk sosial dan budaya, sehingga dapat melibatkan
hubungan perasaan dan emosional diantara peneliti dengan pelaku yang diteliti.
Untuk menjaga
obyektivitas tersebut, dalam ilmu-ilmu sosial terdapat prinsip-prinsip sebagai
berikut:
1.
Ilmuwan harus mendekati segala sesuatu yang menjadi
sasaran kajiannya dengan penuh keraguan dan skeptik;
2.
Ilmuwan harus obyektif dalam menilai segala sesuatu,
yaitu harus membebaskan dirinya dari
sikap-sikap pribadinya, keinginan-keinginannya, dan kecenderungan- kecende-rungannya
untuk menolak atau menyukai data yang telah dikumpulkannya;
3.
Ilmuwan harus secara etika bersikap netral atau
terbebas dari membuat penilaian- penilaian
menurut nilai-nilai budayanya mengenai hasil-hasil penemuannya, dan dalam hal ini dia hanya dapat
memberikan penilaian mengenai data yang diperolehnya itu apakah sebagai data
yang benar atau data yang palsu; dan begitu pula dalam kesimpulan- kesimpulannya dia tidak
boleh menganggap bahwa datanya tersebut adalah data akhir, mutlak, atau kebenaran universal.
Karena kesimpulan-kesimpulannya hanya berlaku
secara relatif sesuai dengan waktu dan tempat dimana penelitian itu dilakukan.
Untuk menjaga nilai obyektif dari
data yang dikumpulkan maka dalam setiap kegiatan penelitian harus berpedoman
pada metode ilmiah yang ketentuan-ketentuannya mencakup hal-hal sebagai
berikut:
1.
Prosedur pengkajian/penelitian harus terbuka untuk
umum dan dapat diperiksa oleh peneliti
lainnya;
2.
Definisi-definisi yang dibuat dan digunakan adalah
tepat dan berdasarkan atas konsep-konsep dan teori-teori yang sudah ada;
3.
Pengumpulan data dilakukan secara obyektif;
4.
Penemuan-penemuannya akan ditemukan ulang oleh
peneliti lain; yaitu untuk sasaran atau masalah penelitian yang sama dan dengan
menggunakan pendekatan dan prosedur penelitian yang sama;
5.
Di luar bidang sains, tujuan kegiatan
pengkajian/penelitian adalah untuk pembuatan teori-teori penjelasan, interpretasi,
dan prediksi-prediksi (khususnya dalam ilmu ekonomi) mengenai gejala- gejala
yang dikaji.
7. Contoh masalah
subjektifitas sejarah
Negara jepang pernah mengalami
kesulitan dalam merumuskan sejarahnya. Jepang pernah mendapat protes dari korea
karena jepang menghilangkan cerita tentang kekejaman mereka pada saat menjajah
korea. Bahkan korea sendiri pernah memutuskan hubungan diplomatik dengan jepang
karena kasus tersebut.
Masalah tersebut memang nampak
sepele,namun dampaknya sangat besar. Setiap sejarawan pasti mengalami hal
tersebut. Jadi setiap sejarawan pasti sangat sulit menghindari masalah
tersebut. Oleh karena itu dalam penulisan sejarah setidaknya harus meminimalkan
unsur subjektif dalam sejarah tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar