Rabu, 02 Januari 2013

objektifitas dan subjektifitas sejarah



OBJEKTIFITAS DAN SUBJEKTIFITAS  
                 DALAM SEJARAH

1.                   Pengertian objektifitas dan subjektifitas dalam sejarah
Subjektifitas adalah kesaksian atau tafsiran yang merupakan gambaran hasil perasaan atau  manusia. Dalam sejarah unsur ini banyak terdapat dalam proses interpretasi.
Sejarah, dalam mengungkapkan faktanya membutuhkan interpretasi dan interpretasi melibatkan pribadi/subyek. Selain yang diinterpretasikan adalah peristiwa masa lalu yang sudah ditinggalkan. Sekalipun masih ada itu hanya ada dalam pikiran sejarawan/subyek tersebut. Sejarawan tersebut yang hidup di masa kini, tentu saja dalam melakukan interpretasi dipengaruhi oleh keadaan zamannya. Selain itu terdapat faktor lain yaitu menurut pendapat G.G.J Resink yang turut mempengaruhi subyektivitas yaitu lingkungan kultural Indonesia yang majemuk dan terbuka untuk banyak tafsiran, sinkretisme religius dan kultural, kecenderungan untuk mencari ketenangan dengan sikap jujur.
              Sementara objektifitas adalah usaha mendekatkan diri pada objek atau dengan kata lain bertanggung jawab pada kebenaran objek. Objektivitas sebagai realitas adalah ketidaktersembunyiannya realitas tersebut bagi subjektivistas. Untuk mendapatkan keobjektivannya, seorang sejarawan harus memiliki filsafat yang sehat, memiliki kejujuran intelektual, dan objektivitas akan semakin didapat dengan semakin kayanya bagasi intelektual, perlengkapan kejiawaan subjektivitas sejarawan. Objektivitas ini dapat dihasilkan dengan menggunakan metode subjektivo-objektif, dengan begitu ilmu disadarkan atau kemungkinannya dan akar konteksnya dalam perspektif rasionalitas yang lebih luas.
              Menurut sejarawan dan filsuf sejarah yang berhaluan Marxi, penulisan sejarah yang objektif tidak mungkin dan tidak perlu dicita-citakan. Hasrat akan tercapainya suatu masyarakat yang lebih baik dan adil harus merupakan nilai dan pedoman menuntun sejarawan dalam penelitiannya.
              Objektifitas dan subjektifitas pada hakikatnya adalah mempersoalkan sejauh mana suatu objek atau fakta sejarah diintervensi oleh subjek atau sejarawan. Dengan demikian kadar objektifitas dan subjektifitas suatu cerita sejarah sangt ditentukan oleh sejarawan itu sendiri. Semakin banyak keyakinan,pendapat atau ide sejarawan terlibat dalam suatu cerita sejarah,maka semakin besar pula kemungkinan tingkat subjektifitas dari suatu cerita itu. Begitu pula sebaliknya.
Namun,jika kita bertolak dari pengertian sejarah sebagai konstruk yan g diciptakan oleh sejarawan,maka dapat dikaakan bahwa semua sejarah yang ada dewasa ini sudah tentu bersifat subektif. Sebab pengungkapan atau penggambaran suatu peristiw sejarah menjadi kisah sejarah tentu harus melewati proses pengolahan dalam pikiran dan angan-angan seorang sejarawan.












2.          Faktor-faktor yang mendorong muculnya subjektifitas dalam sejarah
Menurut W.H. Walsh ada empat faktor yang menyebabkan subjektifitas dapat timbul dalam  suatu penulisan sejarah,yaitu:
1.         Sikap berat sebelah pribadi(personal bias)
2.         Prasangka kelompok(group prejudice)
3.         Teori-teori penafsiran sejarah yang berbeda(conflicting theories of historical interpretation)
4.            Konflik-konflik filsafat yang mendasar(underlying philosofical conflits)

3.          Alternatif-alternatif terhadap masalah subjektifitas
   Menurut I.G.Widja ada tiga alternatif terhadap masalah subjektifitas tersebut,yaitu:
1.           Bersifat ragu terhadap tercapainya objektifitas
2.           Mengapa pentingnya mencapai objektifitas disamping pengakuan atas subjektifitas
3.           Teori kesadaran historis yang objektif



1. Peranan Human Richnes.
Maksudnya disini adalah kekayaan intelektual dari seorang sejarawan yang harus dimiliki ketika menulis sejarah, karena keberhasilan karya sejarah banyak sekali bergantung pada seluruh disposisi intelektual sejarawan. Kenyataan yang banyak berseluk beluk dan bersimpang – siur dalam praktek sangat menuntut pandangan yang eksplisit reflektif formal dari seorang sejarawan supaya dapat ditangkap dengan tepat.

2. Titik berdiri-profil
Maksudnya disini adalah bagaimana kita menangkap sesuatu ketika suatu objek kita pandang dari sudut pandang tertentu. Misalnya punggung soeharto yang sekarang saya lihat, sesudah saya tadi melihat wajahnya tanpa melihat punggungya, adalah punggung soeharto yang sama yang tadi saya lihat wajahnya. Maka, kalau disimpulkan, saya menangkap kesatuan dan keseluruhan objek yang saya tangkap lewat suatu rangkaian yang tak putus-putusnya dari profil-profil yang bersesuaian dengan banyak titik berdiri ( standpoints ) yang tak terhingga jumlahnya.

3. Mengenali anasir sumber distorsi
               Ketika kita menulis sejarah, maka kita akan memasuki kedalaman subjektivitas, yakni kedalaman kemerdekaan ( untuk mengakui atau menolak, apakah saya merdeka betul tidak diikat oleh sesuatu sehingga bias mengatakan sesuatu sebagaimana mestinya )





5. Subyektifitas Masa kini
Sartono Kartodirdjo (1992) mengatakan bahwa present-mindedness acapkali menjadi panduan untuk menyeleksi permasalahan di masa lampau, namun kita harus berhati-hati, jangan sampai terlalu menguasai pendangan kita terhadap masa lampau dan melaksanakan pandangan masa kini sebagaii alat pengukur tentang masa lampau. Misalnya Negara Majapahit dipandang sebagai Negara nasional. Walaupaun Croce, mengatakan bahwa “ setiap sejarah yang benar adalah sejarah masa kini”, namun bukan seperti itulah yang di maksud.
Dengan demikian ada dua hal yang perlu di perhatikan oleh seorang sejarawan untuk menghindari anakronisme sejarah maupun penulisan sejarah yang parsial yaitu: pertama, Memahami jiwa zaman dengan pemahaman yang komprehensif sehingga tidak menilai sebuah peristiwa hanya sebagai jelek atau buruk, memandangnya sebagai pahlawan atau penjajah, namun kondisi ocial yang kompleks sangat menentukan kejernihan sejarahnya. Kedua, Memahami masa lampau dengan tidak memasukkan nilai masa kini, misalnya perlawanan Arung Palaka terhadap kerajaan Bone yang di pimpin Sultan Hasanuddin sebagai pemberontak, padahal saat itu Indonesia belum ada. Atau seperti dikatakan Bambang Purwanto (2005) banyak juga bandit yang dianggap sebagai pahlawan karena kebetulan melawan belanda, padahal tujuannya hanya untuk kepentingan pribadi untuk mendapatkan harta, dan bukan itu saja sesame orang pribumi juga mereka melakukan pembanditan, inilah yang dikatakan sebagai kesalahan anakronisme.
Dari paparan di atas maka dapat di katakan bahwa dalam sejarah sampai kapanpun hasil rekonstruksinya akan tetap subjektif, dalam artian terlepas dari peristiwa aktualnya, namun fakta yang di tunjukkan akan berupa cermin dari masa lampau tersebut, yang sudah barang tentu dengan menggunakan pendekatan dan pemahaman kesejarahan yang baik. Untuk saat ini Bamabang Purwanto menawarkan adanya dekonstruksi dalam penulisan sejarah atau ocialt sejarah yang memandang manusia dalam sejarah adalah manusia yang sama seperti kita saat ini. Bukan karena pahlawan lalu tidak pernah berbuat salah, atau pemberontakan perorangan pada jaman kerajaan semasa Belanda dikatakan Perlawanan nasional dan lain sebagainya. Selain itu untuk menjadikan sejarah sebagai Sebuah ilmu yang subjektivitas masa lampaunya hanya terbatas pada penamaan karena merekonstruksi masa lampaunya, yang bukan subjektivitas berdasarkan ketidak akuratan datanya maka dalam hal ini dalam ilmu sejarah di kenal adanya rapprochement dalam penulisan sejarah dengan ilmu social lain sehingga sejarah akan memiliki konsep, generalisasi, maupun teori seperti halnya ilmu social yang lain.
Jelasnya adalah bahwa dalam praktek, dan juga sebagai kesimpulan, pengertian subyektif dan obyektif dapat disamakan dengan terpengaruh atau tidaknya sejarawan oleh nilai-nilai tertentu dari obyek yang di telitinya. Bila seorang sejarawan membiarkan keyakinan politik, atau etisnya turut berperan sehingga nilai-nilai politik serta etisnya tidak larut dalam eksplanasi karyanya, maka pelukisan sejarahnya itu disebut subyektif. Dimana golongan obyektivitas menganut pandangan realis mengenai sejarah dan menganggap peninggalan masa lampau sebagai sumber sejarah. Sedangkan golongan subyektif menganut pandangan idealis mengenai sejarah dan menganggap peninggalan masa lampau sebagai evidensi sejarah (barang bukti).
Dengan adanya dua sudut pandang ini, tidak jauh berbeda dengan pandangan sejarawan yang anti teori dan yang menerima teori antara kubu idealis dan realis, maka penulisan sejarah pun semakin berkembang dan berveriasi. Jika pada abad ke-19 dan sebelumnya jenis sejarah politik” seakan satu-satunya karya sejarah yang abash, maka sejak awal abad ke-20 berbagai tema sejarah sebagai alternatif dalam mengungkapkan masa lampau manusia seperti sejarah sosial, sejarah petani, sejarah ekonomi, sejarah mentalitas, dan lain sebagainya. Dengan demikian hal ini sesuai dengan apa yang di katakana oleh James Harvey Robinson bahwa Sejarah adalah apa yang kita tahu mengenai apa yang manusia pernah lakukan/ kerjakan, apa yang manusia pernah pikirkan” dan apa yang manusia pernah rasakan pengertian ini mengindikasikan kompleksitas pada kegiatan manusia dalam sejarahnya, sehingga pengkajiannya juga membutuhkan kompleksitas pendekatan seprti yang di jelaskan di atas.

6.     Prinsip Prinsip Objektivitas
               Dalam ilmu-ilmu sosial, masalah obyektivitas dari informasi yang dikumpulkan dalam penelitian merupakan suatu isu yang utama dalam metode ilmiahnya. Sebab, berbeda dengan dalam sains, informasi yang dikumpulkan itu berasal dari dan mengenai kegiatan- kegiatan manusia sebagai mahluk sosial dan budaya, sehingga dapat melibatkan hubungan perasaan dan emosional diantara peneliti dengan pelaku yang diteliti.
               Untuk menjaga obyektivitas tersebut, dalam ilmu-ilmu sosial terdapat prinsip-prinsip sebagai berikut:
1.            Ilmuwan harus mendekati segala sesuatu yang menjadi sasaran kajiannya dengan penuh keraguan dan skeptik;
2.            Ilmuwan harus obyektif dalam menilai segala sesuatu, yaitu harus membebaskan                                  dirinya dari sikap-sikap pribadinya, keinginan-keinginannya, dan kecenderungan-                                     kecende-rungannya untuk menolak atau menyukai data yang telah dikumpulkannya;
3.            Ilmuwan harus secara etika bersikap netral atau terbebas dari membuat penilaian-                                penilaian menurut nilai-nilai budayanya mengenai hasil-hasil penemuannya, dan dalam  hal ini dia hanya dapat memberikan penilaian mengenai data yang diperolehnya itu apakah sebagai data yang benar atau data yang palsu; dan begitu pula dalam kesimpulan- kesimpulannya dia tidak boleh menganggap bahwa datanya tersebut adalah data  akhir, mutlak, atau kebenaran universal. Karena kesimpulan-kesimpulannya hanya                       berlaku secara relatif sesuai dengan waktu dan tempat dimana penelitian itu dilakukan.
            Untuk menjaga nilai obyektif dari data yang dikumpulkan maka dalam setiap kegiatan penelitian harus berpedoman pada metode ilmiah yang ketentuan-ketentuannya mencakup hal-hal sebagai berikut:
1.            Prosedur pengkajian/penelitian harus terbuka untuk umum dan dapat diperiksa oleh peneliti lainnya;
2.         Definisi-definisi yang dibuat dan digunakan adalah tepat dan berdasarkan atas konsep-konsep dan teori-teori yang sudah ada;
3.         Pengumpulan data dilakukan secara obyektif;
4.            Penemuan-penemuannya akan ditemukan ulang oleh peneliti lain; yaitu untuk sasaran atau masalah penelitian yang sama dan dengan menggunakan pendekatan dan prosedur penelitian yang sama;
5.            Di luar bidang sains, tujuan kegiatan pengkajian/penelitian adalah untuk pembuatan teori-teori penjelasan, interpretasi, dan prediksi-prediksi (khususnya dalam ilmu ekonomi) mengenai gejala- gejala yang dikaji.





7. Contoh masalah subjektifitas sejarah
Negara jepang pernah mengalami kesulitan dalam merumuskan sejarahnya. Jepang pernah mendapat protes dari korea karena jepang menghilangkan cerita tentang kekejaman mereka pada saat menjajah korea. Bahkan korea sendiri pernah memutuskan hubungan diplomatik dengan jepang karena kasus tersebut.
Masalah tersebut memang nampak sepele,namun dampaknya sangat besar. Setiap sejarawan pasti mengalami hal tersebut. Jadi setiap sejarawan pasti sangat sulit menghindari masalah tersebut. Oleh karena itu dalam penulisan sejarah setidaknya harus meminimalkan unsur subjektif dalam sejarah tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar